Kisah Ali Sadikin Mengira Hotel Sultan Milik Pertamina

Ali Sadikin

Kisah Ali Sadikin Mengira Hotel Sultan Milik Pertamina. Kisah klasik yang kembali viral di akhir 2025 ini ternyata berawal dari satu kalimat santai Bang Ali Sadikin pada 1970-an: “Hotel itu kan milik Pertamina, kok ribet amat.” Kalimat itu, yang diucapkan saat Gubernur DKI Jakarta itu sedang memimpin rapat tata ruang ibu kota, kini jadi “bom waktu” hukum yang meledak setelah 50 tahun. Hotel Sultan—kompleks megah di kawasan Segitiga Emas Senayan—sedang jadi rebutan antara Pontjo Sutowo (PT Indobuildco) dan pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara. Di tengah gugatan dan pengosongan paksa, cerita “kesalahpahaman” Ali Sadikin ini kembali dibicarakan sebagai salah satu akar kekisruhan kepemilikan tanah seluas 14,9 hektar itu.

Awal Mula Ali Sadikin Salah Paham di Era 1970-an

Pada 1972, Jakarta sedang gencar membangun wajah baru menjelang Konferensi PBB dan Asian Games. Ali Sadikin butuh hotel berkelas internasional untuk tamu negara. Saat itu, Ibnu Sutowo—bos Pertamina yang sedang jaya-jayanya—membangun Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) lewat anak perusahaannya, PT Indobuildco. Bang Ali, yang dekat dengan Ibnu, melihat proyek itu sebagai “milik negara” karena Pertamina adalah BUMN.

Dalam rapat Pemda DKI, ia pernah berkata, “Tanah itu kan Pertamina, bangun hotel untuk negara, ya sudah, kasih saja HGB-nya ke Indobuildco supaya cepat jadi.” Tanpa banyak cek dan ricek, Pemda DKI kemudian menerbitkan Hak Guna Bangunan Nomor 26/Gelora dan 27/Gelora atas nama Indobuildco pada 1973 dan 1976. Ali Sadikin mengira tanah itu memang milik Pertamina. Padahal, tanah itu sebenarnya milik negara yang dikuasai Pemda DKI, bukan aset Pertamina. Kesalahan fatal ini baru disadari puluhan tahun kemudian.

Jejak Hukum yang Berbelit Selama Setengah Abad

Setelah Ali Sadikin lengser 1977, status tanah itu mulai dipertanyakan. Pada 1990-an, muncul laporan bahwa tanah Gelora Bung Karno sebenarnya aset negara yang dikelola Kementerian Sekretariat Negara, bukan Pemda DKI. HGB Indobuildco pun diperpanjang berkali-kali—terakhir sampai 2003—tapi selalu dengan catatan “menunggu penyelesaian status tanah”.

Tahun 2007, Mahkamah Agung memutuskan bahwa tanah itu memang milik negara dan HGB Indobuildco sudah berakhir. Pontjo Sutowo, anak Ibnu Sutowo yang mewarisi perusahaan, tetap menguasai fisik bangunan dan tanah. Selama 18 tahun berikutnya, terjadi belasan gugatan, mediasi, dan putusan—semuanya kalah di pihak Indobuildco. Putusan terakhir pada 2024 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan pengosongan total, dan eksekusi mulai dilakukan akhir November 2025 dengan penutupan akses dan pemasangan garis polisi.

Mengapa Kisah Ali Sadikin Kembali Mengemuka

Di tengah drama pengosongan Hotel Sultan, banyak pihak menunjuk cerita “Bang Ali salah sangka” sebagai biang keladi. Sejumlah pakar hukum tata negara menyebut, kalau saja Ali Sadikin tidak menganggap tanah itu milik Pertamina dan melakukan verifikasi yang benar, HGB tidak akan pernah diterbitkan ke Indobuildco sejak awal.

Bahkan, dokumen rapat Pemda DKI tahun 1973 yang baru-baru ini dibuka publik menunjukkan notulen rapat di mana Bang Ali berkata, “Pertamina kan BUMN, sama saja dengan negara, kasih saja haknya.” Kalimat itu kini jadi bukti bahwa kesalahan administratif di era Orde Baru menjadi dasar klaim kepemilikan yang berlangsung puluhan tahun. Banyak netizen yang mengomentari dengan nada prihatin sekaligus geli: “Dari satu kalimat gubernur legendaris, lahir sengketa 50 tahun.”

Kesimpulan

Kisah Ali Sadikin yang mengira Hotel Sultan milik Pertamina bukan sekadar anekdot lucu, tapi pelajaran mahal tentang pentingnya tata kelola aset negara. Apa yang awalnya hanya “salah paham” di meja rapat tahun 1970-an, berubah menjadi sengketa hukum terpanjang di Jakarta yang melibatkan ratusan triliun rupiah nilai aset. Kini, ketika plang “Hotel Sultan” mulai dilepas dan pagar beton didirikan, cerita itu mengingatkan kita bahwa keputusan sekecil apa pun di masa lalu bisa berakibat sangat besar di masa depan. Bang Ali mungkin sudah tiada, tapi “warisan salah sangkanya” masih terus dibicarakan—dan akhirnya diselesaikan—di tahun 2025 ini.

Baca Selengkapnya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *